Nun dibalik gunung dusun terkurung sunyi.
Sukma terenung dengan senandung serunai.
Sayup dendang menghimbau, gita irama desaku.
Insan hidup rukun, memupuk cinta alam di desa*
Sepenggal lagu ciptaan ibu. Sud. Adalah sebuah permenungan yang dapat kita pergunakan sebagai gambaran kepada siapapun betapa nikmatnya hidup di pedesaan yang jauh dari keramaian. Kebisingan diperkotaan yang biasa kita temui, memang kadangkala memicu adrenalin kita untuk dinikmati.
Terlepas dari dunia perkotaan yang begitu menarik banyak orang untuk mengunjunginya, marilah kita sejenak melihat, merenungkan, lagu yang terlantun lewat maestro cipta lagu anak-anak yang terkenal diera tahun 80-an.
Karena situasi diperkotaan yang bising, sibuk, serba cepat, warganya acuh tak acuh pada kebersamaan cenderung mementingkan diri.
Kerinduan atas anugerah alam semesta yang masih perawan kedamaian, ketenangan, warganya damai, santai, menjadi kerinduan tersendiri pada kejenuhan yang serba cepat, bersaing, dialam suasana kota.
Back to natural, ragam mode didunia.
Demikian pula situasi kehidupan, didunia kejenuhan akan kerja, kebisingan situasi, kita lalu rindu dengan kemanjaan diri, dengan situasi yang lain.
Pilihan itulah mendorong banyak orang kota, berbondong-bondong week end ke tempat yang jauh dari kebisingan. Mereka mulai mengunjungi tempat yang sepi, keluar dari kebisingan, menghirup udara yang segar, celoteh burung emprit, burung hantu, burung elang yang memekik keras seolah-olah memanggil terbang tinggi.
Orang kota, lalu menikmati bunyi-bunyian yang lain, bukan deru kendaraan yang berlalu lalang, suara parau pedagang-pedagang kaki lima, penawar jasa yang berteriak memanggil yang empunya uang.
Mereka mulai menikmati suara binatang malam yang bersahutan, seirama dengan gelak orang bercengkerama di gardu ronda, yang hanya berpakaian sangat sederhana menikmati suasana bulan yang temaram dibalik rimbunnya pohon.
Dari kejauhan sayup-sayup suara musik tradisional yang mengalun lembut lewat gelombang pendek radio.
Disisi lain sapaan orang yang kebetulan lewat di depan gardu ronda, dengan membungkuk hormat, menyapa siapapun yang ada di gardu.
Situasi itu merupakan hal yang amat lumrah dialam pedesaan.
Bahkan sekali-kali pos ronda dipenuhi warga yang sekedar ingin omong-omong, dengan topik pertanian, perkebunan, bahkan situasi masyarakat dan bangsa, sambil membuat kopi panas sebagai pengusir dingin. Bahkan sering kali pula menyalakan api untuk penahan rasa dingin, dan sekalian memasukkan ketela dalam api, tak lama kemudian dengan bersilat semua makan ketela bakar betapa nikmatnya. Siapa yang membeli kopi, ketela, semua dilakukan dengan sukarela, ikhlas, siapa yang mempunyai ketela, kopi, makanan ringan lainnyapun segera tersaji.
Itulah suasana situasi alam pedesaan dikaki bukit menoreh kabupaten Kulon progo, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sehingga tidak heran daerah kami menjadi daerah destinasi wisata alam yang mengagumkan.
Puncak gunung Suroloyo, kebun teh Nglinggo, gua Kiskendo, Goa Sriti dan lain-lain.
Disamping karena pemandangan alamnya yang indah, penduduknya yang ramah, kuliner yang beragam dan lebih-lebih murah, menjadi surganya para wisatawan.
Sayang seribu kali sayang pengelolaan tempat wisata dengan sarana prasarana belum secara maksimal diusahakan keberadaannya oleh dinas pariwisata. Kami dapat memakluminya karena anggaran, pendapatan asli daerah yang kecil.
Dengan terbangunnya Bandara Internasional Airport, dan bedah menoreh yang terus dipacu pengerjaannya, kami warga di kaki bukit menoreh menaruh asa yang luarbiasa, semoga daerah kami menjadi tempat singgah wisatawan domestik maupun asing untuk menikmati alam pedesaan kami.
Tidak hanya alam kami yang indah namun, kehidupan kamipun dapat kami jual untuk mengalami, merasakan adat istiadat para leluhur.
Gotongroyong, bersilaturahim, tata krama, dan budaya kami yang dapat menggugah sejarah masa lampau, tidak hanya membaca namun dapat dialami oleh wisatawan-wisatawan tersebut. Budaya kesenian tradisional warisan para leluhurpun masih kami hidup, antara lain : baritan, bersih dusun, saparan, mudahan, iber-iber dan masih banyak lagi.
Kecamatan kami yang terletak di utara Kabupaten Kulonprogo, berbatasan dengan wilayah Kedu, dengan letak topografinya yang berbukit diselingi jalan yang terjal dan menantang cocok juga untuk tempat latihan paralayang, dan juga olah raga panjat tebing. Namun semua ini masih menjadi impian kami. Mudah-mudahan anak cucu kami, dapat menjadi tuan rumah sekaligus menekuni bidang pariwisata yang sudah bermodalkan yang diberikan alam.
Yang lebih penting lagi supaya anak cucu kami tidak pergi dari desanya untuk mengadu untung di kota sebagai buruh, pedagang, pegawai dan lain-lain, namun membangun potensi yang ada menjadi sumber matapencaharian.
Apa yang menjadi angan-angan kami ini tidak isapan jempol belaka, namun datang dan saksikan, kalau perlu kami siap menerima tamu wisata kami untuk mengalami sendiri hidup di pedesaan dan menikmati budaya yang kami suguhan, kuliner yang alami dari kebun, hasil sawah dan ladang kami.
Kami tunggu kedatangannya terutama di desa Gerbosari, kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulon progo, daerah istimewa Yogyakarta. Salam lestari budayaku...... Amin. Red-santo