Melihat fenomena budaya yang luar biasa, dan budaya adalah salah satu aset pariwisata. Masyarakat Kabupaten Kulon Progo khususnya dan Daerah Istimewa Yogyakarta umumnya, melakukan terobosan strata Masing-masing wilayah.
Strata digolong-golongkan menjadi beberapa bagian. Strata terbawah disebut kantong budaya strata berikutnya rintisan budaya dan endingnya adalah desa budaya.
Dengan telah ditetapkannya sebutan-sebutan stratanya tersebut lalu mumcul hak dan kewajibannya.
Kewajibannya secara keseluruhan memotivasi, menumbuh kembangkan budaya yang ada, memberi fasilitas, memberi kesempatan untuk sebanyak-banyaknya dapat dipentaskan.
Adapun hak-haknya. Untuk desa kantong budaya berhak mendapat pembinaan dan bantuan fasilitas dari kementerian pariwisata daerah kabupaten.
Sedangkan hak desa rintisan budaya adalah disamping mendapat pembinaan juga diwajibkan melakukan pementasan-pementasan, baik berupa vestifal maupun pentas bersama desa rintisan budaya.
Adapun kewajiban desa budaya adalah disamping pembinaan, diwajibkan setiap desa budaya menggelar seni budaya secara bergiliran 35 hari sekali. dan masih banyak fasilitas-fasilitas lainnya.
Apa yang telah digariskan dinas pariwisata di daerah Kabupateb Kulon Progo khususnya dan DIY umumnya, tidak terdapat di daerah laiinnya. Oleh karena strata-strata yang sudah ditetapkan dapat memicu persaingan yang sehat.
Kalau kemudian, apa yang terjadi di lapangan, dengan mengalirnya bantuan-bantuan ke desa strata kantong dan juga desa rintisan budaya. Justru setelah sampai pada sfrata tingkat tertinggi yang dikehendaki dinas pariwisata, bantuan dikurangi, secara logika berpikir pementasan yang diwajibkan memerlukan beaya yang tidak sedikit.
Karena hal itulah yang memicu pendapat lebih enak menjadi desa kantong maupun rintisan budaya saya toh bantuan dan pembinaan masih terus dikucurkan.
Bagaimana way out (jalan keluarnya).
Menurut hemat kami, perlu monetoring yang menggunakan pendekatan yang mencakup akar rumput pelaku budaya. Monetoring ini lebih diperuntukkan bagi desa penyandang desa budaya. Walaupu tentu saja evaluasi dan monetoring juga dilakukan di kantong budaya maupun desa rintisan budaya. Setelah dilakukan monetoring sampai pada pelaku budaya dinas pariwisata dapat menyimpulkan, dan menjawab kesulitan yang dihadapi desa budaya tersebut.
Juga jangan kemudian menakutkan bagi desa rintisan budaya untuk naik tingkat me jadi desa budaya, yang justru menyusahkan diri semdiri dalam hal finansial.
Pada mulanya pembentukan strata-strata desa dalam hal budaya ini, menumbuhkan asa bagi masyarakat untuk semakin menumbuhkembangkan budaya ditengah-tengah kesibukannya sehari-hari. Alhamdulillah, puji Tuhan semua harapan itupun dapat terwujudseiring disetujuinya bantuan dana keistimewaan. Marilah dana keistimewaan yang kabarnya sebagian besar diperuntukkan bagi pengembangan budaya dan wisata, kita maksimalkan dalam rangka menopang budaya dan wisata kita.
Secara umum pengembangan citra, rasa dan karsa manusia tentang seni ini menjadi kebutuhan yang mendasar pula, disamping sandang dan papan. Bersyukurlah kita, yang hidup di bumi perdikan kasultanan Mataram, yang masyarakatnya sungguh peduli akan perlunya pengembangan budaya dan pariwisata. Bahkab kota kita tercinta kita mendapat julukan kota wisata dan budaya yang berada diaamping pulau dewaa yang menduduki peringkat tertinggi.
Mengapa demikian, untuk membuat tempat yang nyaman bagi para wisatawan, baik itu wisatawan dalam maupun luar negeri diperlukan berbagai syarat.
1. Keamanan dan ke-nyamanan.
2. Souvenir ( buah tangan) dan kuliner yang terjangkau dan enak.
3. Tempat wisata dan budaya yang beragam.
4. Transportasi yang mudah dan murah.
Hampir seluruh prasarat itu dapat dipenuhi oleh daerah kita / Yogyakarta khususnya dan daerah-daerah disekitarnya.
Oleh karena menjadi sisnkron antara pembinaan budaya dan wisata melalui dinas pariwisata dimasing-masing kabupaten kota.
Untuk menjadikan pariwisata dan budaya yang beragam, bukan menjadi tanggung jawa pemerintah saja namun masing-masing individu insan daeran Istimewa Yogyakarta ini, harus mengambil perannya masing-masing.
Hal-hal kecil yang menghambat jangan dianggap remeh: contoh ristribusi masuk wisata harus diawasi, jangan sampai aji mumpung.
Harga kuliner yang terjangkau dan standar, sekali lagi jangan aji mumpung.
Memasang daftar menu dan sekaligus satuan harganya.
Alat transportasi yang dapat sampai dilokasi terdekat dengan tempat wisata, biaya parkir yang terjangkau.
Dengan demikian kalau semua sudah kita penuhi, tentu kita berharap daerah wisata kita dan di bumbui budaya yang adiluhung yang kita miliki, juga beragamnya budaya kita, dapat membuat para wisatawan dalam maupun luad negeri betah hidup disekitar kita.