Patung Bom dan peristiwa 07 Maret 1949 Di Gerbosari Samigaluh
Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah melupakan sejarah dan tetap melestarikannya hingga anak cucunya nanti. Baik sejarah maupun legenda yang bersifat mendidik bagi para generasi penerusnya.
Gerbosari mempunyai banyak sekali tempat bersejarah, seperti : Gunung bakal, Makam Kyai Sami dan Kyai Galuh, Puncak Suroloyo, Makam Kyai Tlingsingan, dan masih banyak lagi.
Kali ini kami kembali mencoba mengangkat legenda maupun sejarah tertsebut dalam bentuk artikel, dengan tujuan pelestarian. Dengan adanya artikel atau pemberitaan ini, diharapkan dapat menjadi bahan penunjang pendidikan sejarah di lingkungan Desa Gerbosari dan Kecamatan Samigaluh pada umumnya.
“ Pada bulan Maret 1949, wilayah Kapanewonan Samigaluh banyak didatangi oleh pejuang - pejuang Kemerdekaan dari berbagai kesatuan, antara lain dari TP (tentara Pelajar), Brigade 10, Polisi dan dari kesatuan laskar – laskar yang tidak di ketahui namanya. Dengan segala upaya dan benda yang dimiliki, Masyarakat membantu kebutuhan mereka selama di Samigaluh. Hal ini dilakukan juga oleh segenap penduduk yang tidak biasa ikut bertempur di garis depan.
Ketika itu pemerintahan di Kapanewonan dipimpin oleh Bapak Panewu PROJONARMODO dibantu oleh Bapak PROJOWINARNO. Pada tahun 1949 inilah mulai dibentuk Datasemen Polisi Pamong Praja (disingkat DP3), Dengan terbenuknya DP3 ini segenap anggotanya diwajibkan mengikuti latihan (istilah sekarangnya adalah penataran).Sebagai asramanya ditunjuk adalah sebuah rumah yang kebetulan berada dekat Kantor Kapanewon. Latihan akan diselenggarakan mulai tanggal 07 Maret 1949 Dan dipimpin oleh inspektur Polisi R SOEBEKTI.
Kira – kira pukul 09.00 ketika pelajaran berupa ceramah oleh Bapak R Soebekti sedang berlangsung, datang seorang Tentara ini berbicara dengan Bapak Projonarmodo dan Bapak Projowinarno, kemudian keduanya pergi meninggalkan tempat latihan, kalau tidak keliru keduanyan menuju ke Gunung Bakal (sekarang SLTP 1 Samigaluh). Sementara itu pelajaran ceramah masih tetap berlangsung terus. Seharusnya pelajaran dihentikan pada pukul 1 (satu) siang untuk istirahat makan, tetapi karena Bapak Panewu belum juga kembali, maka ceramah diteruskan hingga pukul 3 (tiga) sore. Para peserta diberi kesempatan istirahat dan makan siang.
Saat makan siang terdengar suara pesawat terbang yang semakin dekat ke arah asrama kami. Para pelajar menganganggap bahwa itu adalah pesawat tempur milik Tentara Indonesia. Terdorong oleh rasa ingin tahu, banyak diantara peserta berhamburan keluar untuk melihat pesawat terbang itu. Tak lama kemudian datang lagi satu pesawat terbang, sekarang ada 2 (dua) pesawat yang mengitari, merekapun pergi lagi.
Dari empat penjuru datang bergantian empat buah pesawat sambil menjatuhkan bom, granat, dan juga menembaki area asrama dengan Miltraliur dari udara. Suasana menjadi kalang kabut dibawah hujan bom, granat dan peluru. Semua orang berusaha menyelamatkan dirinya. Mereka hanya bisa pasrah sebulat – bulatnya pada Kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.
Hujan bom, peluru dan granat belum selesai disusul oleh hujan air yang cukup deras. Rupanya dengan turunnya hujan ini maka serangan udara dihentikan dan pesawat – pesawat tempur Belanda itupun pergi. Serangan udara tersebut berlangsung selama 45 menit.
Setelah keadaan menjadi tentram para pelajar baru berani bangkit. Salah seorang diceritakan oleh nara sumber bahwa ketika akan bangun pelajar tersebut merasa tertindih oleh sesosok tubuh dan ternyata sesosok tubuh tersebut merupakan temannya sendiri, yaitu saudara Pawiroyono. Dengan sangat mengerikan tubuhnya penuh lumuran darah dan bagian punggung sampai pantat tinggal tulang belulang atau sudah tidak berdaging, sedang di lehernya terdapat luka lebar menganga, boleh dikatakan leher itu hampir putus. Dengan bantuan istrinya yang tidak cidera sedikitpun, narasumber berita ini coba merawat saudara Pawiroyono, tetapi karena kehendak Tuhan Saudara Pawiroyono gugur beberapa menit setelah perawatan, inilah korban pertama pada peristiwa itu.
Setelah meletakkan jenazah saudara Pawiroyono, narasumber dan istrinya bergegas untuk kembali menolong korban yang lainnya. Pemandangan yang disaksikan beliau sendiri merupakan suasana yang sangat mengerikan. Rumah beliau yang dulu dijadikan sebagai tempat Pelatihan Polisi Pamong Praja kini hancur dan rata dengan tanah. Dimana – mana terdapat percikan darah. Tanah menjadi berlobang – lobang tergenang air dan darah.
Bersama rekan – rekan yang masih selamat, para pelajar kemudian menolong korban – korban yang terluka maupun gugur. Suasana saat itu menjadi menyedihkan bercampur dengan rasa kekesalan serta luapan amarah terhadap Penjajahan Belanda.
Diantara korban yang diketahui : saudara Pawiroyono, Ibu Sastrosudarmo beserta anak perempuannya (keduannya meninggal seketika), saudara Supardi, saudara Bedjo dan seorang anak laki – laki, kita tidak tahu mananya. Semua luka parah dan kemudian meninggal di RS Boro. Saudara Kromowitono, saudara Sarip Sutodarmo, saudara Djemu Harjoutomo, ,ketigannya luka parah bahkan kedua orang yang saya sebut pertama sampai kini terpaksa invalid.
“ Masih ada seorang korban lagi yang belum kami ketahui nasibnya, yaitu saudara Wiyopranoto. Beliau adalah Lurah Gerbosari yang ikut menjadi anggota DP3. Oleh keluarganya telah dicari ke rumah saudara – saudaranya dan seluruh tetangganya namun tidak ketemu juga. Maka bersama orang banyak dicarilah saudara Wiryopranoto tersebut ke lokasi pemboman, dimana memang terdapat sobekkan bekas pakaian yang dipakai saudara Wiryopranoto. Sobekannya kecil sekali tidak ada yang lebih besar dari jari tangan. Melihat ini orang – orang berkesimpulan bahwa saudara Wiryopranoto gugur, tetapi dimana jenazahnya?
Tak lama kemudian ada yang menemukan sesosok isi perut manusia disekitar semak – semak, disusul dengan penemuan sepotong telapak kaki, setelah diteliti oleh keluarganya yakinlah bahwa isi perut dan telapak kaki tersebut merupakan milik saudar Wiryopranoto. Mereka (para keluarga) tidak pangling pada ciri – ciri telapak kaki beliau “.
Demikian setelah penyerangan itu pada malam – malam berikutnya suasana disekitar itu menjadi sangat mencekam, saat menjelang senja orang sudah tidak berani lagi keluar rumah hingga pagi tiba. Pada malamk harinya lapmu rumah sengaja tidak dinyalakan walaupun penghuni rumah tetap terjaga.
Diantar bom – bom yang telah menghancurkan rumah yang dijadikan asarama tersebut serta menimbulkan kerusakan disana sini, ada 2 (dua) bom yang tidak mau meledak yaitu yang jatuh di Masjid. Masjid Samigaluh ini terletak hanya 30 meter dari rumah tersebut, inilah kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan-pun menganugrahkan keselamatan.
“Ini memang menakjubkan, saudara Pawiroyono terkena demikian hebatnya, justru saya yang terhimpit dengan tidak cidera sedikitpun, demikian halnya dengan istri saya. Tak habis – habisnya saya bersyukur pada Tuhan meskipun telah kehilangan harta benda serta rumah, namun masih diberi keselamatan hingga pada tahun 1978 ini saya dapat merayakan ulang tahun emas perkawian dengan istri saya “, penjelasan Narasumber kepada kami dengan sedikit berlinang airmata. Dan sesekali mengerutkan kening, Seolah beliau sedang berusaha kembali dalam imajinasi peristiwa tersebut.
“ Demikian kisah yang saya alami dan melihat dengan mata kepala saya sendiri. Dan saya ingin menambahkan disini bahwa sekitar tahun 1960 saya bersama pemuka – pemuka masyarakat Samigaluh telah mendirikan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Kemudian pada tahun 1961 ada seorang Perwira Polisi yang datang bersama anak buahnya beranjansana ke Samigaluh, sekaligus menyerahkan bantuan berupa tenaga dan uang tunai untuk mendirikan atau menambah gedung SMP kami dengan 3 (tiga) lokal. Rumah dan kelas bantuan tadi saat ini telah tiada sebab telah diganti dengan gedung permanen yang megah. Kepada beliau lewat tulisan ini saya ikut menyampaikan terimakasih yang sebesar – besarnya sebab polisipun telah ikut menunjang kemajuan rakyat Samigaluh lewat Pendidikan”, demikian pemaparan Narasumber.
Sebagai generasi muda Beliau wajib kita banggakan. Beliau beserta tokoh masyarakat waktu itu, telah banyak berjasa bagi masyarakat Samigaluh khusunya Gerbosari dalam perjuangan melawan Penjajahan Belanda dan sebagai salah satu Masyarakat yang telah berjasa bagi Pendidikan di Samigaluh.
(Red – Joko Susetyo Art)